Kamis, 08 Juli 2010

2. Kesaktian Kata "Belum Waktunya"

Kehidupan di kota-kota besar banyak memberikan godaan, terutama godaan konsumtif. Kehidupan yang serba wah, mewah dan penuh gemerlap seperti di Jakarta membuat banyak orang gelap mata, pingin punya ini punya itu, pingin beli itu beli ini. Full konsumtif. Makanya pasar kartu kredit laris manis disini. Saya yang menjadi warga baru Jakarta masa itu tak luput dari godaan. Apalagi di era tahun 1990 an kartu sakti tersebut masih merupakan barang baru. Beberapa teman sekantor bahkan sudah memilikinya. Gengsi dong kalau saya belum mengantonginya, pikirku. Karena belum ada planning apapun tentang kehidupanku seperti apa nanti, maka godaan gengsilah yang membuatku buru-buru mengisi formulir aplikasi tersodor. Rasanya Gengsi banget kayaknya orang-orang yang bayar belanjaan di plaza-plaza (waktu itu belum ada mall) bayarnya tinggal gesek, "sreeek...jegrek!". Bunyi alat geseknya berisik maklum masih manual. Kesannya pemiliknya itu orang-orang kaya, sukes dan berduit gitu loh jack!


Sebulan kemudian kartuku sudah menghuni dompet kumalku peninggalan jaman baheula. Asik banget Bro! semua keinginan ini itu ku bisa terpenuhi saat itu juga. CD player (compo) terkini yang merupakan barang baru di masa itupun saya dah punya. Tak terasa gaya hidupku pun ikut-ikutan berubah, yang sebelumnya cukup beli makan di warung atau gerobak dorong, sekarang berganti di restoran-restoran dengan menu international. Tidak heran dalam sekejap plafon kreditku penuh. Tawaran-tawaran kartu kredit lainpun segera kusambar tanpa banyak cingcong , sampai Dompet Pierre Cardin baruku cepat sesak berisi kartu sakti. Waktu itu banyak orang merasa lebih bergengsi saat membayar di kasir sambil pamer, yaitu dengan sengaja membuka dompetnya lebar-lebar supaya kelihatan kartu saktinya yang penuh berderet-deret.


Meski bekerja di perusahaan besar, sebenarnya gaji yang kudapat hanya cukup buat hidup pas-pasan di Jakarta. Kira-kira seperti untuk bayar kos, bayar angkot, bayar makan minum di warung/ gerobak, beli majalah, tabloid dan kaset kesukaan, nonton film seminggu sekali di Plaza terdekat, tidak beda jauh seperti jaman sekolah dulu. Godaan kartu kredit membuat hidupku senang sekaligus merana, karena harus hidup dengan pola gali lubang tutup lubang selama bertahun-tahun. Sampai suatu saat ketika habis membayar tagihan di suatu bank (waktu itu belum ada sistem on line) tiba-tiba saya kok merasa sangat terharu saat melihat bunga kredit yang harus kusetorkan. "Ya Tuhan, bunga sebesar ini sebenarnya kan bisa untuk membelikan mainan buat anakku yang sedang lucu-lucunya", batinku sambil timbul rasa bersalah yang amat sangat. Akhirnya pada saat itu aku berjanji pada diri sendiri dan anakku yang masih 3 tahunan, untuk bertekad menutup semua kartu kredit yang kumiliki. Maka dengan susah payah dan penuh derita selama dua tahunan, akhirnya kantong dan dompetku berhasil kubebaskan dari kartu kredit apapun. Beruntung nyonya di rumah sangat penuh pengertian mendukung upayaku ini.


Herannya mengapa kesadaran datangnya selalu belakangan. Setelah berhari-hari pusing mencari jawaban mengapa saya sampai menjebakkan diri pada pilihan hidup yang kelihatan wah dan mapan, tetapi sesungguhnya sangat keropos dan rapuh. Akhirnya eureka! sudah kutemukan jawabannya: "SEMUA TERJADI KARENA AKU SELALU MEMAKSAKAN DIRI UNTUK MEMILIKI SESUATU YANG BELUM WAKTUNYA KUMILIKI". Semenjak itu kalau ingin membeli/ memiliki barang yang mahal dan wah... selalu saya test dulu dengan pertanyaan, apakah saya sudah waktunya untuk membelinya? Kalau memang belum waktunya, maka tanpa berpikir panjang kujawab sendiri, "ah entar dulu, belum waktunya!". Kini hidupku terasa lebih tenang, tenteram dan bahagia.

1. Beramal/ Bersedekah

Sekitar pertengahan tahun 1989, menjelang penyelesaian akhir tugas skripsi. Saya masih ingat benar percakapanku dengan sobatku Edi Budhi dalam perjalanan pulang di dinihari itu, setelah seharian tadi bekutat dengan rumus-rumus njelimet di lab komputer kampus. Di tengah keheningan perjalanan menjelang melintasi bundaran di salah satu perumahan super elite di Surabaya, aksi saling diam kami dikejutkan dengan melintasnya sebuah mobil hebat dan mewah, mercy bulldog keluaran terbaru (ukuran saat itu). Iseng kubuka percakapan kepada sobat yang sedari tadi manyun melulu. "Eh Ed, ayo kita balapan siapa nanti yang duluan bisa punya mercy". Sejenak kupikir wah penyakit menkhayalku mulai kumat. Nggak tahunya gayung bersambut, "Ah itu khan harus jadi orang kaya dulu baru bisa beli gituan, sedangkan kita sekarang? Khayal aja kamu Cak!" Panas juga saya dapat jawaban begitu, "Lho Ed kamu setelah lulus nanti apa nggak pingin jadi orang kaya?" "he..he..he..Khayal aja terus Cak!", ketawa khasnya keluar. "Terus terang Ed aku pingin jadi orang kaya, bayangkan saja dengan uang yang banyak, selain beli mercy, kita bisa beramal lebih leluasa ya ke fakir miskin, panti-panti asuhan, anak-anak yang putus sekolah dan lain-lain" cerocosku. "Lho memangnya kalau orang miskin tidak bisa beramal?", Jawab Edi sengit. Wah susah jawabnya nih, setelah agak lama terdiam kujawab asal saja, "Ya bisa saja sih Ed, cuma tidak maksimal". "He..he..he..ada-ada saja Cak, aku terus ya sampai ketemu besok". "Ok aku belok ya, bukan besok tapi nanti sore he..he..yook". Tak terasa kamipun berpisah sesampai di perempatan Kertajaya.

Akhirnya kami lulus bareng dengan predikat memuaskan dan saya dapat pekerjaan di Jakarta di grup perusahaan otomotif sohor di negeri tercinta ini. Setelah bertahun-tahun bekerja hasil yang kudapatkan ternyata...? Tanpa mengurangi rasa bersyukur saya bisa memiliki rumah mungil nun jauh disana (hingga jarang ketemu anak dan matahari), memiliki mobil bekas dan tabungan yang jarang terisi. Sering kutanyakan pada diri sendiri wah kalau begini terus kapan kayanya, kapan bisa beramal "maksimal" (maksimal menurut ukuranku lho) dan seterusnya dan seterusnya. Sampai suatu saat di lampu merah saya memberikan sedikit uang kembalian tol ke seorang pengemis tua (waktu itu belum ada larangan) dan eureka!...pikiranku tiba-tiba terbuka luas lalu terjadi pencerahan di dalam diri, "MENGAPA HARUS MENUNGGU KAYA DULU BARU BERAMAL". Jawaban sudah kudapatkan dan mulai saat itu saya berjanji akan beramal sesuai kemampuan saja. Tidak usah maksimal-maksimalan dulu, biarlah waktu yang membuktikan.