Senin, 01 November 2010

6. Ternyata Harta Kekayaan Dibawa Mati!

Wah nganeh-anehi ya judulnya..., sungguh melawan arus! Untuk itu saya mohon maaf sebesar-besarnya sebelumnya. Ide di atas sungguh sangat menghantui saya selama bertahun-tahun, soalnya sedari kecil saya sudah diajarkan (lupa oleh siapa, yang jelas bukan orang tua saya) "Buat apa mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, toh tidak dibawa mati!" Bukankah begitu saudara-saudara, semacam "doktrin" yang sering kita dengarkan. Ada jawaban yang cukup masuk akal yang kuperoleh saat membaca cuplikan biografi seorang negarawan besar, yaitu harta yang susah payah kita cari dan kumpulkan selama kita hidup, itu nanti khan bisa diwariskan ke anak cucu. Kejadian berikutnya, sering saya "dibantai habis" oleh rekan-rekan ketika saya menyampaikan ide menjadi orang kaya raya. Salah satu jawaban yang mirip di atas sering saya peroleh "Hu... ngapain mau jadi orang kaya toh harta kekayaan nanti tidak dibawa mati!" Lanjutannya "Cari harta secukupnya saja, banyak beramal dan beribadah itu yang lebih penting!"


Terus terang cukup terguncang juga jiwa ini dengan jawaban yang standart dan semakin menjadi bertanya-tanya dalam hati. Aneh, mengapa banyak orang yang tidak ingin menjadi kaya raya dengan harta bertumpuk-tumpuk bergunung-gunung. Padahal dengan kekayaan yang berlebih membuat kita lebih bebas dan leluasa membeli ini itu, memenuhi kebutuhan ini itu dll. lagi pula sampai saat ini tidak ada undang-undang yang melarang lho untuk menjadi orang super kaya.


Sampai akhirnya saya mendengar pendapat seorang pakar di salah satu stasiun televisi yang menyatakan, bahwa "Pendapat bahwa kita tidak usah mengumpulkan harta karena tidak dibawa mati, itu adalah propaganda penjajah Belanda dalam rangka agar pribumi terjajah tetap lemah dan tidak menjadi "kekuatan baru". Tapi saya masih belum puas dengan jawaban tersebut. Nih kalau kebanyakan mikir.... sedenk...sedenk dah!


Lagi, pada salah satu program televisi yang sedang membahas otomotif, ternyata mampu memberikan jawaban secara tidak langsung ketika dijelaskan tentang konversi tenaga, dimana dari bahan bakar dapat diperoleh tenaga gerak dengan perantaraan mesin bakar. Dari sini saya mendapatkan ide; bagaimana halnya dengan harta kekayaan yang berhasil kita himpun lalu kita konversikan menjadi "sesuatu" dulu, sehingga dapat kita bawa mati, mungkinkah? Sesuatu itu ternyata berwujud AMAL! Karena amal-lah yang sesungguhnya menjadi teman kita saat kita sudah tiada. Ingat! Kita lahir tanpa teman, begitu pula saat maut menjemput. Kita mati tanpa teman, selain amal kebajikan selama hidup di dunia!
Logis bukan? So dari sini dapat saya simpulkan sendiri (mohon maaf semoga hal ini tidak lagi melawan arus), bahwa "Ternyata harta kekayaan yang kita himpun bisa kita bawa menjadi bekal mati setelah kita konversikan dalam bentuk amal yang luar biasa". Harta dapat dikonversikan menjadi amal ketika kita; bersedekah, berzakat, menyumbang korban bencana, menjadi orang tua asuh, mendirikan rumah yatim piatu, panti jompo, rumah sakit dan sekolah khusus bagi orang tidak mampu, membangun tempat ibadah berikut fasilitasnya, membangun badan pelestarian alam, membangun badan penanggulangan bencana yang mampu bertindak cepat dan semua hal berbau kebaikan untuk kepentingan orang banyak terutama bagi yang tidak mampu, yang semuanya harus kita lakukan semata-mata untuk cinta dan pengabdian kita kepada Sang Pencipta. Ikhlassss....
Hanya yang perlu diingat, harta yang kita himpun adalah dicari dengan halal dan dalam pencariannya jangan sampai kita terlena sehingga lupa kesehatan sendiri, lupa keluarga, sanak saudara dan ibadah apalagi sampai kita diperbudak olehnya. Amit-amit dah...Maaf ini cerita teman tentang saudaranya, saking ambisiusnya mengumpulkan harta thok, dia terkena sroke sampai akhirnya meninggal. Stroke akibat terlalu banyak memikirkan harta dan terlalu berani berutang besar-besaran pada bank tanpa perhitungan matang.
Eureka!!! BANGKIT DAN BANGKITLAH SAUDARAKU CARI HARTA DUNIA SEBANYAK-BANYAKNYA SAMBIL BERAMAL SEBESAR-BESARNYA. HIDUP TIDAK HARUS MISKIN, SENGSARA, MENDERITA DAN TIDAK BAHAGIA, MAKA BANGKITLAH! SEMUA MANUSIA BERHAK MENJADI KAYA, BERHAK BERAMAL SEBESAR-BESARNYA UNTUK BEKAL DI "KEHIDUPAN BERIKUT". Kita dilahirkan oleh orang tua kita yang miskin itu takdir, tapi nasib kita bukanlah takdir karena nasib kita hanya kita sendiri yang bisa merubahnya.

Rabu, 27 Oktober 2010

5. Apa Khabar Pendidikan Indonesia...?

Kata-kata "Jangan kau didik anak-anakmu sesuai generasimu, tetapi didiklah sesuai generasi mereka nanti", selalu saja terngiang-ngiang di telinga saat sedang memperhatikan anak-anakku sedang bermain atau belajar. Kalau begini kelihatan susah juga yah jadi orang tua, dituntut harus punya VISI! Ya... pandangan jauh ke depan, bayangan tentang masa depan.




Setelah menjadi orang tua dengan 3 orang anak, saya baru bisa merasakan betapa hebatnya orang tua saya. Dalam kondisi kehidupan yang sederhana (babe saya guru SMA Negeri, Enyak gue ibu rumah tangga) orang tuaku berhasil mengentaskan kami anak-anaknya yang berjumlah 6 dengan masing-masing menyandang gelar dari perguruan tinggi. Menurutku Beliau-beliau adalah termasuk orang tua yang suksesss! Aku benar-benar kagum dengan orang tuaku kini dan sampai nanti, kami ber 6 mengenyam pendidikan yang bagus di sekolah-sekolah super favorit di Surabaya. Itu dari tingkat TK sampai PT lho... Bila kubandingkan dengan keadaanku sekarang sungguh beda. Aku sering minder kenapa aku tidak mampu, minimal bisa menyekolahkan anak-anakku di sekolah terbaik di kotaku sekarang, Bekasi Kabupaten. Sering kuhibur diriku, maklum disini sekolah-sekolah yang begituan masih langka, ya... terima apa adanya. Yang penting mereka nanti bisa meneruskan ke Perguruan Tinggi terhebat di dalam atau di luar negeri sekalipun.




Setelah lulus sarjana, saya mendapatkan pekerjaan di Jakarta, di perusahaan swasta paling bonafid di negeri tercinta ini. Sekian lama saya bekerja, lama-lama kok keasyikan juga saya kerja disana. Kata orang pintar penulis buku saya sudah masuk ke daerah nyaman (comfort zone). Sebenarnya mau masuk atau tidak acuh beibe-lah jack...nyang penting nyonya di rumah hepi.




Sampailah ke jaman reformasi 1998, banyak rekan-rekan kerja berguguran kena PHK atau di paketin. Masih untung sih tidak dipetiin he...he... Reformasi bergulir terus dan makin banyak perusahaan di ambil alih pemilik merk. Selain itu era Tbk. (perusahaan terbuka) berkembang pesat, akibatnya banyak perusahaan yang berubah menjadi semi liberal, artinya jaman sudah berubah. Tuntutan "Bukan siapa yang besar yang menang tetapi siapa yang tercepat dialah yang menang" membuat kultur di banyak perusahaan ikut berubah. Boss yang lebay pasti dilibas habis, karena perusahaan-perusahaan terbuka dituntut harus untung terus kalau bisa segedhe-gedhenya agar para pemegang saham (stakes holder) senang, makanya diperlukan Boss-boss yang T O P B G T yang lihai meraih keuntungan besar bagi perusahaan yang dia pimpin. Hilang sudah nilai-nilai loyalitas, senioritas, mayoritas, kapasitas dan tas-tas lainnya. Demokrasi di perusahaan dari dulu memang tidak ada, para Boss dituntut bisa bergerak cepat, loe mau ikut...terserah, tidak ikut jangan gandholi. Jaman sudah berubah cepat, persaingan semakin kejam, maka siapa lambat dia dipecat! Kasihan, banyak angkatan muda kesulitan cari kerja berhubung banyak perusahaan yang tidak mau repot-repot ngurusi SDM nya sendiri, mereka lebih suka kontrak dengan badan out sourcing. Menurut saya bekerja selama-lamanya sampai pensiun di perusahaan yang itu-itu saja sudah bukan jamannya lagi, kuno!!!. Bekerja "ikut orang" kalau bisa, bila sudah tidak cocok atau situasinya sudah tidak kondusif sebaiknya cepat cari yang lain yang lebih baik dan prospektif. Kenapa perusahaan bisa Tbk, sedangkan karyawan juga tidak bisa ikutan Tbk?? Jaman sekarang loyalitas sudah usang. Terpenting pastikan kita bisa bekerja serius dan sebaik mungkin, sehingga dapat memberikan keuntungan sebaik-baiknya bagi perusahaan. Jangan lupa pegang etika bekerja sebaik-baiknya. Persetankan Sense of belonging BERLEBIHAN pada perusahaan tempat kita bekerja, karena memangnya punya moyang lo? Saya berani berkata pahit seperti ini, mengingat beberapa rekan yang berkontribusi besar dan sangat loyal pada tempatnya bekerja di PHK sepihak hanya karena tidak disukai oleh Boss baru (beda chemistry). Memangnya rekan saya tadi bisa apa hayo? Paling melongo doang, Wong jelas perusahaan itu bukan miliknya...kasihan deh...lo.




Ok, "marah-marahnya" sudah cukup kukira. Menurut saya sekarang jamannya berdikari, buka usaha sendiri. Gejala ini sangat santer akhir-akhir ini. Yang paling mengena tentang kewirausahaan adalah ucapan tokoh idola saya, Bpk. Ir. Ciputra, pengusaha beken dari group Pembangunan Jaya. Seingat saya (ogut sampaikan intinya saja) Beliau pernah berujar, "Indonesia yang kaya raya sumber alamnya, bisa dikelola dan dikuasai bangsa sendiri dengan lahirnya pengusaha-pengusaha nasional yang tangguh". Pikiran yang logis memang. Selama ini kekayaan alam yang masih banyak dikuasai tangan-tangan asing, karena minimnya perusahaan nasional yang punya modal hyper gedhe untuk sanggup mengolah kekayaan negeri tercinta ini yang luar biasa jumlahnya. Lulus sarjana (S1, S2, S3) pinter thok tidak cukup. Cukupnya paling menjadi karyawan di perusahaan tambang asing yang beroperasi disini. So sama saja jadi kuli lagi kulee lagee.


So, apakah salah bila generasi mendatang kita didik mereka menjadi enterpreneur sejak dini, agar makin banyak lahir pengusaha-pengusaha nasional tangguh, sehingga pengelolaan kekayaan alam di negeri ini dapat ditangani oleh bangsa sendiri. Caranya bagaimana? Nah ini yang rumit..., tetapi intinya mereka kita didik selalu dalam kondisi "tidak nyaman" meskipun kita sebagai orang tua bisa saja memberikan begitu saja kondisi-kondisi nyaman (kemanjaan) bagi mereka. Kita didik mereka dimana untuk mendapatkan keinginannya diperlukan usaha keras.

Menjadi seorang pengusaha itu cuma satu kuncinya, yaitu berani dan sanggup menghadapi banyak ketidaknyamanan (out of the BOX) dalam perjalanannya menuju sukses.

Berani???

Siapa takut.... ya syukurlah kalau begitu.


Eureka!!! KALAU DULU ORTU KITA DIDIDIK KAKEK & NENEK KITA AGAR BISA MENJADI AMBTENAAR (PEGAWAI NEGERI), LALU KITA DIDIDIK ORTU KITA AGAR BISA MENJADI KARYAWAN BERGAJI GEDHE DI PERUSAHAAN BONAFID, KINI SAATNYA KITA MENDIDIK ANAK-ANAK KITA AGAR BISA MENJADI ENTERPRENEUR TANGGUH DI MASA DEPAN!

Minggu, 26 September 2010

4. Nulung kepenthung (Menolong Malah Kena Pentung)

Di masa lalu peristiwa ini sudah beberapa kali kualami, tetapi kejadian yang terakhir sangatlah nyata berkaitan dengan kiasan Jawa "Nulung Kepenthung".
Ceritanya begini.
Sebagai warga baru di perumahan menengah di lingkungan mapan tentu saja saya ingin menjalin komunikasi dengan siapa saja yang baru kukenal. Saya smapai saat ini yakin "Lu lu Gue gue" ala Jakartaan itu karena tuntutan keadaan yang serba sibuk dan macet di Jakarta dan sekitarnya, sehingga warganya terkesan tidak gaul. Bagaimana bisa gaul secara wajar bila tujuh hari dalam seminggu masing-masing jarang ada di rumah? Logis toh... Ya sudahlah terima saja keadaan yang ada. Yang penting antar tetangga ada toleransi, ada rasa saling menjaga ketenangan dan ketenteraman, itu sudah syukur.

Siang itu matahari sedang terik-teriknya. Saya yang dari pagi sudah tenggelam beres-beres cucian yang seabrek-abrek dipaksa berhenti oleh suara ketukan pagar besi di depan. Kubuka pintu garasi dan kulihat di luar sana sudah berdiri seorang berpakaian ala opetani berusia sekitar 50 tahunan. Bajunya lusuh dan kumal, pucuk capingnya sudah bolong saking uzurnya. di pikulannya ada pengki, sabit, pacul dan gunting belukar besar. Dengan terbata-bata dia menawarkan jasa membersihkan ilalang liar yang ada dihalaman depan. Langsung saya tolak karena saya sebenarnya sudah memberikan pekerjaan ini pada pembantu adik ketemu ipar. Dengan penampilan yang memelas dan desakannya yang pantang menyerah ditambah lagi kata-kata bahwa dia belum makan sedari pagi, akhirnya benteng pertahanan saya jebol juga, permintaannya saya luluskan! Saya suruh dia bereskan ilalang liar di trotoar depan pagar, berukuran 1x 4 meteran, sekalian meratakan urugan tanahnya sedangkan sisa tanahnya saya suruh timbun di taman depan rumah, berukuran 3 x 3 meteran, yang juga tak kalah terurus kondisinya. Saya sungguh surprise dan agak terngangah ketika dia dengan tanpa malu-malu minta makan! Bathin saya, "Bah belum kerja sudah minta makan, model orang macam apalagi ini?" Mungkin kalah dengan rasa belas kasihan akhirnya permintaannya ku iyakan saja. Kusuruh dia masuk ke halaman depan dan aku sendiri segera ngeloyor ke dalam dan tak lupa ku selot pintu garasi, maklum belum percaya sama orang misterius ini. Di dalam ada nyonya dan langsung saja kuceritakan bahwa ada orang minta pekerjaan terus minta makan dulu karena belum makan. Sekilas kupandang muka istriku yang keheranan sebelum akhirnya mengangguk setuju ketika saya sibuk menuang nasi ke piring untuk mempersiapkan makan orang misterius tersebut. Singkat kata nasi hangat plus abon, telur asin dan kerupuk serta sebotol kecap (karena hanya ini ketika itu yang ada di rumah) plus Aqua se pitcher terhidang di depannya. Ketika tanpa basa-basi dia mulai makan saya masuk ke dalam kembali untuk ngobrol dengan nyonya kira-kira pekerjaan apalagi yang harus diselesaikan orang misterius tersebut. Tak lama saya keluar kembali dan agak kaget karena makanannya sudah habis ludes. Alamak bener-bener kelaparan dia. Sepintas dia sedang asyik memaculi ilalang liar di depan. Aku masuk ke rumah kembali meneruskan pekerjaan mencuciku. Di dalam hati sempat terbersit bagaimana orang yang sudah kutolong ini nantinya malah menodong, sudah siapkah aku menghadapinya? Tapi pikiran itu segera kubuang jauh-jauh, "Ah tidak mungkin orang yang sudah saya perlakukan dengan baik berlaku macam-macam, apalagi yang kuhadapi adalah "orang kampung" yang terkenal lugu-lugu."

Tak lama kemudian saya kembali sudah ada di luar rumah sambil mengajak dia ngobrol sedikit, biasa berbasa-basi tanya ini itu. Sampai ketika saya menyuruh dia meratakan tanah yang sudah bersih dari rumput liar, dia berkomentar, "Pak pekerjaan apapun yang disuruh akan saya kerjakan asal bayarannya cocok." Ih bener-bener mulai nggak sopan menurutku, karena dia sempat mengulang beberapa kali kata-kata itu sambil menggesek-gesekkan jari telunjuk dan jempolnya yang kotor belepotan tanah. Hatiku jadi makin kecut ketika dia memberikan harga borongan untuk menanam rumput mini gajah. Bayangkan dia minta 700 ribu untuk borongan menanam rumput gajah mini di lahan rumah saya yang juga mini ketika iseng kutanyakan bisa tidak dia menanam rumput sekalian. Alamak ini orang mulai ngaco bathinku.

Untuk menenangkan suasana hati yang mulai ikutan kacau aku masuk ke halaman sambil membandingkan informasi dari adik ketemu iparku yang mana untuk menanam rumput gajah mini harga pasarannya cuma 25 ribuan per m2 sudah plus pemupukan. Dia tahu kalau pikiranku lagi kacau lalu dia ikut masuk kedalam sambil agak berteriak, "Pak kalau saya mengerjakan semua pekerjaan ini mau dibayar berapa!" Wah gila bener nih orang sudah mulai lupa asal mulanya. Sebenarnya aku agak menyesal mengapa tidak nego harga dari awal, akhirnya kejadian deh. Kutanya balik saja, "Bapak minta berapa?" Agak panas juga saat dia menjawab, "Saya minta 200 ribu!" "nggak bisa gitu dong Pak, tukang bangunan saja yang kerjanya seharian dan lebih berat saja paling mentok dapat 60 ribuan, sedangkan ini khan cuma bersihkan rumput, yang bener saja", jawabku mulai naik darah. Segera kuputuskan saja, "Ok kalau pekerjaan yang di depan minta berapa?" "75 ribu!" jawabnya. Setelah berdebat sengit sekian lama akhirnya dia mau kubayar 25 ribu, itupun tanpa ucapan terima kasih, untuk pekerjaan membersihkan ilalang 1x4 m, sekalian meratakannya dan menggali 2 lubang kecil yang rencananya akan kutanami pohon pinus. Tanah hasil meratakan dia biarkan berserakan di jalan.


Kalau boleh kusebut "orang susah", ya dia bagian dari kaum orang susah. Aku yakin sebenarnya banyak orang yang hidupnya sudah bekecukupan peduli dengan nasib para orang susah atau lagi kesusahan. Salah satu bukti, pengumpulan dana untuk korban bencana yang diselenggarakan oleh media-media selalu berisi daftar panjang para donatur berhati mulia dengan nilai donasi yang fantastis, dalam waktu singkat! Memang tidak enak bila hidup serba berkecukupan ditengah-tengah masih banyaknya saudara-saudara kita yang masih hidup susah. Saya sendiri bukan berasal dari keluarga orang kaya, pernah mengalami juga masa-masa kesusahan yang panjang. Keadaan sekarang hanya yang dilihat orang saja, mereka belum tahu kalau saya dan keluarga sebelumnya juga pernah mengalami kehidupan susah nan pahit. Saya dan banyak orang lain pasti pernah punya pikiran atau niatan yang sama, yaitu bagaimana membantu mereka yang masih susah. Hitung-hitung membantu pemerintah mengurangi kemiskinan. Sering orang berkata "jangan beri ikan tapi beri kailnya saja". Memang baiknya begitulah adanya, tetapi menurut saya selain memberi kail perlu ada perbaikan secara mentalitas.


Kembali ke cerita awal saya. Dalam perdebatan, saya sempat melontarkan kata-kata "Bagaimana bapak bisa merubah nasib sendiri kalau cari uangnya saja pakai cara begini, ingat awalnya tadi bapak dengan memelas minta pekerjaan lalu minta makan dan saya beri tetapi mana balasannya bukannya terima kasih malah mau cekek saya". Lalu saya lanjutkan "sebenarnya saya mau kasih bapak kerjaan merawat rutin taman kecil ini, datang seminggu sekali nanti selesai kerja saya bayar dan kalau pekerjaan bapak bagus bisa saja saya tawarkan ke para tetangga, sehingga bapak bisa memetik hasil setiap hari, selain kerja yang sudah ada". Karena mental aji mumpung maka tawaran "kail" buat dosqi terlepas.
Eurekaaaa!!! MEMBERANTAS KEMISKINAN BUKAN BERSIFAT MATERI SAJA (IKAN DAN KAIL) TETAPI YANG PALING PENTING BAGAIMANA MEMPERBAIKI MENTALITAS DAN KARAKTER. HAL INI HANYA BISA DICAPAI MELALUI JALUR PENDIDIKAN!
Dapat ditarik kesimpulan masalah pemberantasan kemiskinan adalah program jangka panjang, sehingga harus diprioritaskan pada pendidikan dari dasar sampai sarjana bagi kaum tidak mampu. Dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi (bahu-membahu) dengan para dermawan yang mulia untuk menyalurkan dana-dana terhimpun, untuk diprioritaskan bagi nasib pendidikan kaum tidak mampu, baik dengan mendirikan sekolah-sekolah khusus (full gratis; uang pangkal, SPP, seragam, sepatu, tas, buku-buku & perlengkapannya,uang saku, dll.) serta menebar beasiswa bagi kaum pelajar tidak mampu agar sekolahnya tidak terputus ditengah jalan. Suka tidak suka mereka adalah bagian generasi penerus bangsa tercinta. Saat kita sudah wafat tentunya kita tidak ingin meninggalkan generasi yang full lebay.

Senin, 30 Agustus 2010

3. Kebahagiaan

Kata apalagi ne....

Bahagia... hanya terdiri dari 7 huruf: B + A + H + A + G + I + A. Semua orang di dunia ini kukira pada sibuk mencari bahagia. Banyak jalan yang sudah mereka tempuh tanpa lelah; ada yang menumpuk harta sebanyak-banyaknya, ada yang kawin sebanyak-banyaknya, ada yang mengejar karir setinggi-tingginya, mengejar gelar akademis sampai berderet-deret, mengumpulkan medali sebanyak-banyaknya, memecahkan rekor dunia ini-itu, dll. Tetapi apakah mereka bahagia?! Emang gue pikirken... Loe tanya aja sendiri ke orangnya.

Terus terang sejak awal dulu bekerja di PT dan tentunya dah punya penghasilan sendiri... gajiiii...ya gue gajian. Saya suka berkhayal, alangkah bahagianya nanti kalau aku bisa punya mobil sendiri, rumah sendiri, jalan-jalan ke LN dan terus bila seiring karirku yang menanjak dan otomatis gajiku berlipat maka rasa bahagiaku makin bertambah kale'. Mobil nambah beli baru yang bagusan, rumah nambah beli baru yang bagusan, beli HD, beli TV gepeng super gedhe, main golf. Oh alangkah bahagia hati ini. Duarrr!!! petasan anak kampung (an) sebelah membuyarkan semua lamunanku.
Bukannya gue mo sok kaya and sombong, semua yang ku khayalkan dulu kini dah kumiliki; rumah MMan, mobil berkelas, jalan-jalan ke LN, perabot canggih dan mewah, ruko besar, usaha sendiri, dll. Tetapi rasa bahagia itu tak kunjung datang, atau mungkin karena aku belum memiliki motor HD impian, kale'? Aku ingat benar saat keinginanku punya mobil premium terwujud, di sore itu ada rasa senang dan bangga saat memutar kontak pertama kali lalu mencobanya keliling komplek perumahan. Tetapi saat bangun pagi esoknya saya bertanya kemana rasa senang kemarin petang itu pergi, sekarang kok rasanya biasa-biasa saja. Begitu juga ketika aku berhasil memiliki rumah MMan... heran rasanya kok biasa-biasa saja, malah yang kepikir bagaimana nanti merawatnya, perabot apa saja yang pantas untuknya, dll.


Kurang bersyukur kale', tegur teman saya bawel. Terus terang saya termasuk orang yang selalu pandai besyukur, berkat didikan agama Islam dan orang tua. Jadi apa dunk?

Kurang beramal kale', kritis teman saya nyinyir.Terus terang saya tidak punya jawaban yang bagus dan pasti tentang hal ini.


Lagi-lagi terus terang ne saya baru sebatas bisa mendefinisikan apa itu rasa senang dan apa itu rasa bahagia, inipun hasil ngobrol, baca-baca, denger radio, lihat TV, dll. Pengin tahu? Rasa senang itu semacam perasaan lega/ plong karena apa yang diinginkan terjadi adanya. Rasa ini ditandai dengan kepala dan dada menjadi ringan (plong) dan rasa ini bertahan paling lama 2 menitan. Lain halnya dengan rasa bahagia. Salah satu definisi, dari sekian banyak definisi, yang saya yakini itulah "bahagia", yaitu rasa senang yang diiringi rasa damai, tenang dan tenteram.


Jadi ada toh senang tapi tidak bahagia? Ya semacam ini dapat uang banyak dari sogokan rekanan, senang saat nerimanya tetapi habis itu bingung dan gelisah tidak habis-habisnya takut ketahuan orang laen. Wah pengalaman...ne. Aua... pengin tahu aje loe.


Lha... Lho? kalau rasa senang tapi bahagia itu apa? Ya... itulah bahagia. Gue pernah punya pengalaman yang tak terlupakan, yang tak hitung-hitung selama masa panghidupan saya hanya terjadi beberapa kali saja. Suatu malam kami sekeluarga sedang berkumpul; ada saya, nyonya dan 3 anak-anak kami. Kami sedang bermain bareng sambil bercanda. Eh tiba-tiba ada rasa lega luar biasa yang menyelinap di dada saya kemudian berangsur ada rasa damai, tenang dan tenteram menyesak di dada sampai-sampai saya diam terbaring sambil memegang dada dan membathin, " Ya Allah bila ini yang dinamakan bahagia, saya ucapkan terima kasih." Swear rasa ini berlangsung lebih lama sampai saya terbangun keesokan harinya pun masih tersisa rasanya. Akhirnya eureka! sudah kutemukan jawabannya: " BAHAGIA ITU BUKAN KARENA SUDAH PUNYA INI PUNYA ITU, NERIMA INI NERIMA ITU MELAINKAN KARENA BERSYUKUR INI BERSYUKUR ITU DAN MEMBERI INI MEMBERI ITU". Catatan: ane mohon maaf bila definisi bahagia ini kurang dalam, maklum nanti bersambung...





Kamis, 08 Juli 2010

2. Kesaktian Kata "Belum Waktunya"

Kehidupan di kota-kota besar banyak memberikan godaan, terutama godaan konsumtif. Kehidupan yang serba wah, mewah dan penuh gemerlap seperti di Jakarta membuat banyak orang gelap mata, pingin punya ini punya itu, pingin beli itu beli ini. Full konsumtif. Makanya pasar kartu kredit laris manis disini. Saya yang menjadi warga baru Jakarta masa itu tak luput dari godaan. Apalagi di era tahun 1990 an kartu sakti tersebut masih merupakan barang baru. Beberapa teman sekantor bahkan sudah memilikinya. Gengsi dong kalau saya belum mengantonginya, pikirku. Karena belum ada planning apapun tentang kehidupanku seperti apa nanti, maka godaan gengsilah yang membuatku buru-buru mengisi formulir aplikasi tersodor. Rasanya Gengsi banget kayaknya orang-orang yang bayar belanjaan di plaza-plaza (waktu itu belum ada mall) bayarnya tinggal gesek, "sreeek...jegrek!". Bunyi alat geseknya berisik maklum masih manual. Kesannya pemiliknya itu orang-orang kaya, sukes dan berduit gitu loh jack!


Sebulan kemudian kartuku sudah menghuni dompet kumalku peninggalan jaman baheula. Asik banget Bro! semua keinginan ini itu ku bisa terpenuhi saat itu juga. CD player (compo) terkini yang merupakan barang baru di masa itupun saya dah punya. Tak terasa gaya hidupku pun ikut-ikutan berubah, yang sebelumnya cukup beli makan di warung atau gerobak dorong, sekarang berganti di restoran-restoran dengan menu international. Tidak heran dalam sekejap plafon kreditku penuh. Tawaran-tawaran kartu kredit lainpun segera kusambar tanpa banyak cingcong , sampai Dompet Pierre Cardin baruku cepat sesak berisi kartu sakti. Waktu itu banyak orang merasa lebih bergengsi saat membayar di kasir sambil pamer, yaitu dengan sengaja membuka dompetnya lebar-lebar supaya kelihatan kartu saktinya yang penuh berderet-deret.


Meski bekerja di perusahaan besar, sebenarnya gaji yang kudapat hanya cukup buat hidup pas-pasan di Jakarta. Kira-kira seperti untuk bayar kos, bayar angkot, bayar makan minum di warung/ gerobak, beli majalah, tabloid dan kaset kesukaan, nonton film seminggu sekali di Plaza terdekat, tidak beda jauh seperti jaman sekolah dulu. Godaan kartu kredit membuat hidupku senang sekaligus merana, karena harus hidup dengan pola gali lubang tutup lubang selama bertahun-tahun. Sampai suatu saat ketika habis membayar tagihan di suatu bank (waktu itu belum ada sistem on line) tiba-tiba saya kok merasa sangat terharu saat melihat bunga kredit yang harus kusetorkan. "Ya Tuhan, bunga sebesar ini sebenarnya kan bisa untuk membelikan mainan buat anakku yang sedang lucu-lucunya", batinku sambil timbul rasa bersalah yang amat sangat. Akhirnya pada saat itu aku berjanji pada diri sendiri dan anakku yang masih 3 tahunan, untuk bertekad menutup semua kartu kredit yang kumiliki. Maka dengan susah payah dan penuh derita selama dua tahunan, akhirnya kantong dan dompetku berhasil kubebaskan dari kartu kredit apapun. Beruntung nyonya di rumah sangat penuh pengertian mendukung upayaku ini.


Herannya mengapa kesadaran datangnya selalu belakangan. Setelah berhari-hari pusing mencari jawaban mengapa saya sampai menjebakkan diri pada pilihan hidup yang kelihatan wah dan mapan, tetapi sesungguhnya sangat keropos dan rapuh. Akhirnya eureka! sudah kutemukan jawabannya: "SEMUA TERJADI KARENA AKU SELALU MEMAKSAKAN DIRI UNTUK MEMILIKI SESUATU YANG BELUM WAKTUNYA KUMILIKI". Semenjak itu kalau ingin membeli/ memiliki barang yang mahal dan wah... selalu saya test dulu dengan pertanyaan, apakah saya sudah waktunya untuk membelinya? Kalau memang belum waktunya, maka tanpa berpikir panjang kujawab sendiri, "ah entar dulu, belum waktunya!". Kini hidupku terasa lebih tenang, tenteram dan bahagia.

1. Beramal/ Bersedekah

Sekitar pertengahan tahun 1989, menjelang penyelesaian akhir tugas skripsi. Saya masih ingat benar percakapanku dengan sobatku Edi Budhi dalam perjalanan pulang di dinihari itu, setelah seharian tadi bekutat dengan rumus-rumus njelimet di lab komputer kampus. Di tengah keheningan perjalanan menjelang melintasi bundaran di salah satu perumahan super elite di Surabaya, aksi saling diam kami dikejutkan dengan melintasnya sebuah mobil hebat dan mewah, mercy bulldog keluaran terbaru (ukuran saat itu). Iseng kubuka percakapan kepada sobat yang sedari tadi manyun melulu. "Eh Ed, ayo kita balapan siapa nanti yang duluan bisa punya mercy". Sejenak kupikir wah penyakit menkhayalku mulai kumat. Nggak tahunya gayung bersambut, "Ah itu khan harus jadi orang kaya dulu baru bisa beli gituan, sedangkan kita sekarang? Khayal aja kamu Cak!" Panas juga saya dapat jawaban begitu, "Lho Ed kamu setelah lulus nanti apa nggak pingin jadi orang kaya?" "he..he..he..Khayal aja terus Cak!", ketawa khasnya keluar. "Terus terang Ed aku pingin jadi orang kaya, bayangkan saja dengan uang yang banyak, selain beli mercy, kita bisa beramal lebih leluasa ya ke fakir miskin, panti-panti asuhan, anak-anak yang putus sekolah dan lain-lain" cerocosku. "Lho memangnya kalau orang miskin tidak bisa beramal?", Jawab Edi sengit. Wah susah jawabnya nih, setelah agak lama terdiam kujawab asal saja, "Ya bisa saja sih Ed, cuma tidak maksimal". "He..he..he..ada-ada saja Cak, aku terus ya sampai ketemu besok". "Ok aku belok ya, bukan besok tapi nanti sore he..he..yook". Tak terasa kamipun berpisah sesampai di perempatan Kertajaya.

Akhirnya kami lulus bareng dengan predikat memuaskan dan saya dapat pekerjaan di Jakarta di grup perusahaan otomotif sohor di negeri tercinta ini. Setelah bertahun-tahun bekerja hasil yang kudapatkan ternyata...? Tanpa mengurangi rasa bersyukur saya bisa memiliki rumah mungil nun jauh disana (hingga jarang ketemu anak dan matahari), memiliki mobil bekas dan tabungan yang jarang terisi. Sering kutanyakan pada diri sendiri wah kalau begini terus kapan kayanya, kapan bisa beramal "maksimal" (maksimal menurut ukuranku lho) dan seterusnya dan seterusnya. Sampai suatu saat di lampu merah saya memberikan sedikit uang kembalian tol ke seorang pengemis tua (waktu itu belum ada larangan) dan eureka!...pikiranku tiba-tiba terbuka luas lalu terjadi pencerahan di dalam diri, "MENGAPA HARUS MENUNGGU KAYA DULU BARU BERAMAL". Jawaban sudah kudapatkan dan mulai saat itu saya berjanji akan beramal sesuai kemampuan saja. Tidak usah maksimal-maksimalan dulu, biarlah waktu yang membuktikan.