Rabu, 27 Oktober 2010

5. Apa Khabar Pendidikan Indonesia...?

Kata-kata "Jangan kau didik anak-anakmu sesuai generasimu, tetapi didiklah sesuai generasi mereka nanti", selalu saja terngiang-ngiang di telinga saat sedang memperhatikan anak-anakku sedang bermain atau belajar. Kalau begini kelihatan susah juga yah jadi orang tua, dituntut harus punya VISI! Ya... pandangan jauh ke depan, bayangan tentang masa depan.




Setelah menjadi orang tua dengan 3 orang anak, saya baru bisa merasakan betapa hebatnya orang tua saya. Dalam kondisi kehidupan yang sederhana (babe saya guru SMA Negeri, Enyak gue ibu rumah tangga) orang tuaku berhasil mengentaskan kami anak-anaknya yang berjumlah 6 dengan masing-masing menyandang gelar dari perguruan tinggi. Menurutku Beliau-beliau adalah termasuk orang tua yang suksesss! Aku benar-benar kagum dengan orang tuaku kini dan sampai nanti, kami ber 6 mengenyam pendidikan yang bagus di sekolah-sekolah super favorit di Surabaya. Itu dari tingkat TK sampai PT lho... Bila kubandingkan dengan keadaanku sekarang sungguh beda. Aku sering minder kenapa aku tidak mampu, minimal bisa menyekolahkan anak-anakku di sekolah terbaik di kotaku sekarang, Bekasi Kabupaten. Sering kuhibur diriku, maklum disini sekolah-sekolah yang begituan masih langka, ya... terima apa adanya. Yang penting mereka nanti bisa meneruskan ke Perguruan Tinggi terhebat di dalam atau di luar negeri sekalipun.




Setelah lulus sarjana, saya mendapatkan pekerjaan di Jakarta, di perusahaan swasta paling bonafid di negeri tercinta ini. Sekian lama saya bekerja, lama-lama kok keasyikan juga saya kerja disana. Kata orang pintar penulis buku saya sudah masuk ke daerah nyaman (comfort zone). Sebenarnya mau masuk atau tidak acuh beibe-lah jack...nyang penting nyonya di rumah hepi.




Sampailah ke jaman reformasi 1998, banyak rekan-rekan kerja berguguran kena PHK atau di paketin. Masih untung sih tidak dipetiin he...he... Reformasi bergulir terus dan makin banyak perusahaan di ambil alih pemilik merk. Selain itu era Tbk. (perusahaan terbuka) berkembang pesat, akibatnya banyak perusahaan yang berubah menjadi semi liberal, artinya jaman sudah berubah. Tuntutan "Bukan siapa yang besar yang menang tetapi siapa yang tercepat dialah yang menang" membuat kultur di banyak perusahaan ikut berubah. Boss yang lebay pasti dilibas habis, karena perusahaan-perusahaan terbuka dituntut harus untung terus kalau bisa segedhe-gedhenya agar para pemegang saham (stakes holder) senang, makanya diperlukan Boss-boss yang T O P B G T yang lihai meraih keuntungan besar bagi perusahaan yang dia pimpin. Hilang sudah nilai-nilai loyalitas, senioritas, mayoritas, kapasitas dan tas-tas lainnya. Demokrasi di perusahaan dari dulu memang tidak ada, para Boss dituntut bisa bergerak cepat, loe mau ikut...terserah, tidak ikut jangan gandholi. Jaman sudah berubah cepat, persaingan semakin kejam, maka siapa lambat dia dipecat! Kasihan, banyak angkatan muda kesulitan cari kerja berhubung banyak perusahaan yang tidak mau repot-repot ngurusi SDM nya sendiri, mereka lebih suka kontrak dengan badan out sourcing. Menurut saya bekerja selama-lamanya sampai pensiun di perusahaan yang itu-itu saja sudah bukan jamannya lagi, kuno!!!. Bekerja "ikut orang" kalau bisa, bila sudah tidak cocok atau situasinya sudah tidak kondusif sebaiknya cepat cari yang lain yang lebih baik dan prospektif. Kenapa perusahaan bisa Tbk, sedangkan karyawan juga tidak bisa ikutan Tbk?? Jaman sekarang loyalitas sudah usang. Terpenting pastikan kita bisa bekerja serius dan sebaik mungkin, sehingga dapat memberikan keuntungan sebaik-baiknya bagi perusahaan. Jangan lupa pegang etika bekerja sebaik-baiknya. Persetankan Sense of belonging BERLEBIHAN pada perusahaan tempat kita bekerja, karena memangnya punya moyang lo? Saya berani berkata pahit seperti ini, mengingat beberapa rekan yang berkontribusi besar dan sangat loyal pada tempatnya bekerja di PHK sepihak hanya karena tidak disukai oleh Boss baru (beda chemistry). Memangnya rekan saya tadi bisa apa hayo? Paling melongo doang, Wong jelas perusahaan itu bukan miliknya...kasihan deh...lo.




Ok, "marah-marahnya" sudah cukup kukira. Menurut saya sekarang jamannya berdikari, buka usaha sendiri. Gejala ini sangat santer akhir-akhir ini. Yang paling mengena tentang kewirausahaan adalah ucapan tokoh idola saya, Bpk. Ir. Ciputra, pengusaha beken dari group Pembangunan Jaya. Seingat saya (ogut sampaikan intinya saja) Beliau pernah berujar, "Indonesia yang kaya raya sumber alamnya, bisa dikelola dan dikuasai bangsa sendiri dengan lahirnya pengusaha-pengusaha nasional yang tangguh". Pikiran yang logis memang. Selama ini kekayaan alam yang masih banyak dikuasai tangan-tangan asing, karena minimnya perusahaan nasional yang punya modal hyper gedhe untuk sanggup mengolah kekayaan negeri tercinta ini yang luar biasa jumlahnya. Lulus sarjana (S1, S2, S3) pinter thok tidak cukup. Cukupnya paling menjadi karyawan di perusahaan tambang asing yang beroperasi disini. So sama saja jadi kuli lagi kulee lagee.


So, apakah salah bila generasi mendatang kita didik mereka menjadi enterpreneur sejak dini, agar makin banyak lahir pengusaha-pengusaha nasional tangguh, sehingga pengelolaan kekayaan alam di negeri ini dapat ditangani oleh bangsa sendiri. Caranya bagaimana? Nah ini yang rumit..., tetapi intinya mereka kita didik selalu dalam kondisi "tidak nyaman" meskipun kita sebagai orang tua bisa saja memberikan begitu saja kondisi-kondisi nyaman (kemanjaan) bagi mereka. Kita didik mereka dimana untuk mendapatkan keinginannya diperlukan usaha keras.

Menjadi seorang pengusaha itu cuma satu kuncinya, yaitu berani dan sanggup menghadapi banyak ketidaknyamanan (out of the BOX) dalam perjalanannya menuju sukses.

Berani???

Siapa takut.... ya syukurlah kalau begitu.


Eureka!!! KALAU DULU ORTU KITA DIDIDIK KAKEK & NENEK KITA AGAR BISA MENJADI AMBTENAAR (PEGAWAI NEGERI), LALU KITA DIDIDIK ORTU KITA AGAR BISA MENJADI KARYAWAN BERGAJI GEDHE DI PERUSAHAAN BONAFID, KINI SAATNYA KITA MENDIDIK ANAK-ANAK KITA AGAR BISA MENJADI ENTERPRENEUR TANGGUH DI MASA DEPAN!