Minggu, 26 September 2010

4. Nulung kepenthung (Menolong Malah Kena Pentung)

Di masa lalu peristiwa ini sudah beberapa kali kualami, tetapi kejadian yang terakhir sangatlah nyata berkaitan dengan kiasan Jawa "Nulung Kepenthung".
Ceritanya begini.
Sebagai warga baru di perumahan menengah di lingkungan mapan tentu saja saya ingin menjalin komunikasi dengan siapa saja yang baru kukenal. Saya smapai saat ini yakin "Lu lu Gue gue" ala Jakartaan itu karena tuntutan keadaan yang serba sibuk dan macet di Jakarta dan sekitarnya, sehingga warganya terkesan tidak gaul. Bagaimana bisa gaul secara wajar bila tujuh hari dalam seminggu masing-masing jarang ada di rumah? Logis toh... Ya sudahlah terima saja keadaan yang ada. Yang penting antar tetangga ada toleransi, ada rasa saling menjaga ketenangan dan ketenteraman, itu sudah syukur.

Siang itu matahari sedang terik-teriknya. Saya yang dari pagi sudah tenggelam beres-beres cucian yang seabrek-abrek dipaksa berhenti oleh suara ketukan pagar besi di depan. Kubuka pintu garasi dan kulihat di luar sana sudah berdiri seorang berpakaian ala opetani berusia sekitar 50 tahunan. Bajunya lusuh dan kumal, pucuk capingnya sudah bolong saking uzurnya. di pikulannya ada pengki, sabit, pacul dan gunting belukar besar. Dengan terbata-bata dia menawarkan jasa membersihkan ilalang liar yang ada dihalaman depan. Langsung saya tolak karena saya sebenarnya sudah memberikan pekerjaan ini pada pembantu adik ketemu ipar. Dengan penampilan yang memelas dan desakannya yang pantang menyerah ditambah lagi kata-kata bahwa dia belum makan sedari pagi, akhirnya benteng pertahanan saya jebol juga, permintaannya saya luluskan! Saya suruh dia bereskan ilalang liar di trotoar depan pagar, berukuran 1x 4 meteran, sekalian meratakan urugan tanahnya sedangkan sisa tanahnya saya suruh timbun di taman depan rumah, berukuran 3 x 3 meteran, yang juga tak kalah terurus kondisinya. Saya sungguh surprise dan agak terngangah ketika dia dengan tanpa malu-malu minta makan! Bathin saya, "Bah belum kerja sudah minta makan, model orang macam apalagi ini?" Mungkin kalah dengan rasa belas kasihan akhirnya permintaannya ku iyakan saja. Kusuruh dia masuk ke halaman depan dan aku sendiri segera ngeloyor ke dalam dan tak lupa ku selot pintu garasi, maklum belum percaya sama orang misterius ini. Di dalam ada nyonya dan langsung saja kuceritakan bahwa ada orang minta pekerjaan terus minta makan dulu karena belum makan. Sekilas kupandang muka istriku yang keheranan sebelum akhirnya mengangguk setuju ketika saya sibuk menuang nasi ke piring untuk mempersiapkan makan orang misterius tersebut. Singkat kata nasi hangat plus abon, telur asin dan kerupuk serta sebotol kecap (karena hanya ini ketika itu yang ada di rumah) plus Aqua se pitcher terhidang di depannya. Ketika tanpa basa-basi dia mulai makan saya masuk ke dalam kembali untuk ngobrol dengan nyonya kira-kira pekerjaan apalagi yang harus diselesaikan orang misterius tersebut. Tak lama saya keluar kembali dan agak kaget karena makanannya sudah habis ludes. Alamak bener-bener kelaparan dia. Sepintas dia sedang asyik memaculi ilalang liar di depan. Aku masuk ke rumah kembali meneruskan pekerjaan mencuciku. Di dalam hati sempat terbersit bagaimana orang yang sudah kutolong ini nantinya malah menodong, sudah siapkah aku menghadapinya? Tapi pikiran itu segera kubuang jauh-jauh, "Ah tidak mungkin orang yang sudah saya perlakukan dengan baik berlaku macam-macam, apalagi yang kuhadapi adalah "orang kampung" yang terkenal lugu-lugu."

Tak lama kemudian saya kembali sudah ada di luar rumah sambil mengajak dia ngobrol sedikit, biasa berbasa-basi tanya ini itu. Sampai ketika saya menyuruh dia meratakan tanah yang sudah bersih dari rumput liar, dia berkomentar, "Pak pekerjaan apapun yang disuruh akan saya kerjakan asal bayarannya cocok." Ih bener-bener mulai nggak sopan menurutku, karena dia sempat mengulang beberapa kali kata-kata itu sambil menggesek-gesekkan jari telunjuk dan jempolnya yang kotor belepotan tanah. Hatiku jadi makin kecut ketika dia memberikan harga borongan untuk menanam rumput mini gajah. Bayangkan dia minta 700 ribu untuk borongan menanam rumput gajah mini di lahan rumah saya yang juga mini ketika iseng kutanyakan bisa tidak dia menanam rumput sekalian. Alamak ini orang mulai ngaco bathinku.

Untuk menenangkan suasana hati yang mulai ikutan kacau aku masuk ke halaman sambil membandingkan informasi dari adik ketemu iparku yang mana untuk menanam rumput gajah mini harga pasarannya cuma 25 ribuan per m2 sudah plus pemupukan. Dia tahu kalau pikiranku lagi kacau lalu dia ikut masuk kedalam sambil agak berteriak, "Pak kalau saya mengerjakan semua pekerjaan ini mau dibayar berapa!" Wah gila bener nih orang sudah mulai lupa asal mulanya. Sebenarnya aku agak menyesal mengapa tidak nego harga dari awal, akhirnya kejadian deh. Kutanya balik saja, "Bapak minta berapa?" Agak panas juga saat dia menjawab, "Saya minta 200 ribu!" "nggak bisa gitu dong Pak, tukang bangunan saja yang kerjanya seharian dan lebih berat saja paling mentok dapat 60 ribuan, sedangkan ini khan cuma bersihkan rumput, yang bener saja", jawabku mulai naik darah. Segera kuputuskan saja, "Ok kalau pekerjaan yang di depan minta berapa?" "75 ribu!" jawabnya. Setelah berdebat sengit sekian lama akhirnya dia mau kubayar 25 ribu, itupun tanpa ucapan terima kasih, untuk pekerjaan membersihkan ilalang 1x4 m, sekalian meratakannya dan menggali 2 lubang kecil yang rencananya akan kutanami pohon pinus. Tanah hasil meratakan dia biarkan berserakan di jalan.


Kalau boleh kusebut "orang susah", ya dia bagian dari kaum orang susah. Aku yakin sebenarnya banyak orang yang hidupnya sudah bekecukupan peduli dengan nasib para orang susah atau lagi kesusahan. Salah satu bukti, pengumpulan dana untuk korban bencana yang diselenggarakan oleh media-media selalu berisi daftar panjang para donatur berhati mulia dengan nilai donasi yang fantastis, dalam waktu singkat! Memang tidak enak bila hidup serba berkecukupan ditengah-tengah masih banyaknya saudara-saudara kita yang masih hidup susah. Saya sendiri bukan berasal dari keluarga orang kaya, pernah mengalami juga masa-masa kesusahan yang panjang. Keadaan sekarang hanya yang dilihat orang saja, mereka belum tahu kalau saya dan keluarga sebelumnya juga pernah mengalami kehidupan susah nan pahit. Saya dan banyak orang lain pasti pernah punya pikiran atau niatan yang sama, yaitu bagaimana membantu mereka yang masih susah. Hitung-hitung membantu pemerintah mengurangi kemiskinan. Sering orang berkata "jangan beri ikan tapi beri kailnya saja". Memang baiknya begitulah adanya, tetapi menurut saya selain memberi kail perlu ada perbaikan secara mentalitas.


Kembali ke cerita awal saya. Dalam perdebatan, saya sempat melontarkan kata-kata "Bagaimana bapak bisa merubah nasib sendiri kalau cari uangnya saja pakai cara begini, ingat awalnya tadi bapak dengan memelas minta pekerjaan lalu minta makan dan saya beri tetapi mana balasannya bukannya terima kasih malah mau cekek saya". Lalu saya lanjutkan "sebenarnya saya mau kasih bapak kerjaan merawat rutin taman kecil ini, datang seminggu sekali nanti selesai kerja saya bayar dan kalau pekerjaan bapak bagus bisa saja saya tawarkan ke para tetangga, sehingga bapak bisa memetik hasil setiap hari, selain kerja yang sudah ada". Karena mental aji mumpung maka tawaran "kail" buat dosqi terlepas.
Eurekaaaa!!! MEMBERANTAS KEMISKINAN BUKAN BERSIFAT MATERI SAJA (IKAN DAN KAIL) TETAPI YANG PALING PENTING BAGAIMANA MEMPERBAIKI MENTALITAS DAN KARAKTER. HAL INI HANYA BISA DICAPAI MELALUI JALUR PENDIDIKAN!
Dapat ditarik kesimpulan masalah pemberantasan kemiskinan adalah program jangka panjang, sehingga harus diprioritaskan pada pendidikan dari dasar sampai sarjana bagi kaum tidak mampu. Dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi (bahu-membahu) dengan para dermawan yang mulia untuk menyalurkan dana-dana terhimpun, untuk diprioritaskan bagi nasib pendidikan kaum tidak mampu, baik dengan mendirikan sekolah-sekolah khusus (full gratis; uang pangkal, SPP, seragam, sepatu, tas, buku-buku & perlengkapannya,uang saku, dll.) serta menebar beasiswa bagi kaum pelajar tidak mampu agar sekolahnya tidak terputus ditengah jalan. Suka tidak suka mereka adalah bagian generasi penerus bangsa tercinta. Saat kita sudah wafat tentunya kita tidak ingin meninggalkan generasi yang full lebay.